Nanar

1.
Malam ini tak dapat pejamkan mata. Kepalaku serasa dihujani beribu kata-kata yang memahat prasasti tentangmu. Otakku mememorisasikan siluet indah di bibirmu tadi, bukan tertawa, bukan pula tersenyum.

Namun begitu indah bagiku.
Malam ini sungguh tak dapat pejamkan mataku karena kamu. Kamu yang berkaos putih bergerak membentuk bayangan imaji. Berpendar-pendar dalam gelapnya kamar tidurku.

Mengapa terus pikirnya?
“Dia jarang tersenyum. Itu keren buatku,” karena aku suka dia tanpa senyumnya itu.
Malam ini aku kembali tak pejamkan mataku walau berton-ton kantuk tengah menggelayuti kedua kelopaknya. Masih karena kamu yang bermain futsal di bawah sana.

“Lucunya! kaos putih dan celana pendek itu melekat pas di tubuhmu,” tak henti bola mata ini bergerak mengikuti perpindahan vektor kakimu yang lincah menggiring bola.

Sementara aku menggila karenamu, Ishtar di atas sana sedang memandang dan tersenyum padaku. Lalu tangannya yang tak kasat mata membelai lembut sebagai angin yang berhembus.

Rambutnya yang panjang keperakan jatuh menjuntai ke bumi memilin rasa antara diriku padamu.
Terhenyak tiba-tiba dari lamunan. Kau menatapku aneh. “Apa yang aneh dengan diriku?”
Kupalingkan beberapa detik perhatianku atas dirimu dan kembali menatapmu, “Astaga!” masih saja menatapku.

Terdengar suara Ishtar tertawa renyah, sayap-sayapnya yang membentang menggesek kulit tanganku penuh dengan kefeminimismeannya.
“Ada kunang-kunang!”

Di malam yang berbeda, aku sama sekali tak mengatupkan mata ini. Karena kamu ada di sana, berharap menjumpaimu dalam heningnya kampus di pagi hari maka aku memilih membuat mataku terjaga.

Tapi siluet indahmu tak kutemukan di pagi ini, “Ya sudah lah. Pulang saja, toh hanya sebagai penonton.”
Mungkin di malam ini aku masih akan menjagakan mataku. Berharap Ishtar juga memilin rambut abu-abunya itu pada dirimu.

Pulang aku mengendarai motor, kudongakkan kepala ke langit, “Cerah!” mungkin Ishtar sedang tertawa. Menunjukkan deretan giginya yang putih dengan arakan awan yang bergerak melewati batas horizon. Melewati terik matahari yang mulai mengangkuh.

2.
Kamu,
Masih saja terpana, kaku dan mendadak “Bego”
“Hey!”
“Oh, eh mau kemana?”
Kamu bertambah tolot dengan kata “Eh” mu.
“Kuliah nih, duluan ya!”

Dia masih tersenyum, begitu menggairahkan untukmu, walau sudah menghilang dibalik gedung-gedung fakultas itu, kamu masih saja memandang sejurus kedepan. Layaknya seorang fans menatap idolanya.
“Semua seperti berhenti pada waktu-waktu tertentunya. bergerak lamat-lamat. Slow motion”
Kamu masih cengar-cengir bego.

3.
“Oh Ishtar, dia manis ya?”
Ishtar tak menjawab.
“Hey bisakah kau memilin rambutmu yang keperakan itu, menjuntaikannya ke bumi dan mengepakkan sayapmu agar dia merasakan sensasi kefeminismeanmu padanya?
Ishtar masih terdiam
“Bisakah kau membantuku?”
Lengang.
“Ishtar???”
“Cinta mengambil kesia-siaan tapi cinta juga memberi kesia-siaan”
Ganti terdiam,
Ishtar tersenyum. Dan turunlah salju dari sudut-sudut bibir putihnya yang mungil.

4.
Terbangun dan melihatnya disampingmu.
“Orin, gak kuliah?”
Dirimu yang masih limbung menyeka muka dengan punggung tangan kananmu yang sedari tadi memegang buku. Mengerjapkan mata dan berusaha meninggalkan alam bawah sadar yang baru saja kau selami.
“Wah udah gak jaman!” menjawab sekenanya.
Lalu pria itu mulai mengajakmu bermain kata-kata. Sepatah, dua patah, lalu berpatah-patah kata.

5.
Kamu itu memandang lekat-lekat sosok yang berdiri sejurus denganmu. Sosok itu yang mempunyai siluet tubuh yang indah, yang akan meliuk indah pula ketika dipandanginya sedang bermain futsal.
Siluet tubuh yang ia kagumi ketika membentuk vektor perpindahan dengan kedua kakinya yang kokoh.

5 menit berlalu,
Kamu masih saja memandang sosok yang pernah memberikan ruh kehidupan pada dirimu. Ketika penat menghampirimu, sosok itulah pengusir terampuh yang tak pernah kau miliki.

Menginjak ke menit 15,
Terus menekuri sosok yang sama sekali tak menggubrismu, tak acuh. Cuek bebek! dan sosok itu masih dengan senyum yang sama seperti kala pertama kamu melihatnya. Begitu menggairahkan. Seharusnya!

Menit ke 20,
Angin sepoi-sepoi datang menemanimu melamun, memandang sosok indah itu. Desiran halusnya menjamah nakal tiap-tiap helai rambut ikal yang dulu pernah membuat mood-mu naik karena baru dicuci dengan shampo merk terkenal No.1 di dunia.

Setengah jam berlalu,
Deretan gigi muncul seakan ingin memamerkan gugus putihnya yang berjajar rapi menghiasi tawanya. Tawa yang pernah membuat kamu mimpi indah semalaman.

5 menit setelah setengah jam berlalu,
“Hah! sudah setengah jam lu berdiri di situ kayak orang bego!”
Diam, sunyi, senyap
“Heh!!!”
Sosok itu menoleh, celingukan mencari sumber suara, matanya bertatap pandang dengan si gadis. Lalu tersenyum, ber “Hai” ria.
Tak ada lagi degup jantung yang terhenti darimu, tak ada lagi adegan slow motion. Hilang rasa.

15 menit setelah setengah jam berlalu,
Diam, sunyi, senyap
Pandanganmu tetap menjurus ke depan
Genap satu jam terlewati,
Diam, sunyi, senyap
Pandanganmu masih sejurus ke depan namun siluet itu kaupandangi kini dengan “Nanar.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bersenandung Bersama Ibu Pertiwi

Perempuan Tua