Bersenandung Bersama Ibu Pertiwi
Lanskap apa yang pertama kali terlintas di benakmu saat diminta menggambar pemandangan?
![]() |
Abdullah Suriosubroto, “Pemandangan di Sekitar Gunung Merapi”, tahun 1930. |
Gunung yang tinggi menjulang dengan pohon di kanan kirinya, jalan setapak, rumah, dan sawah. Lanskap yang umum menggambarkan keindahan panorama Indonesia. Ternyata, gambar semacam ini tak hanya lazim dibikin anak-anak saat pelajaran menggambar. Tapi juga banyak direduksi para seniman dalam media kanvas. Coba saja tengok pameran bertajuk “Senandung Ibu Pertiwi.”
Seorang pelukis bernama Abdullah Suriosubroto mengabadikan “Pemandangan di Sekitar Gunung Merapi” di tahun 1930. Ia melukiskannya hampir sama persis. Seperti gambar-gambar gunung yang sering kita buat semasa duduk di bangku sekolah dasar dulu. Ada gunung merapi berwarna keabuan menjulang, berpadu dengan tebalnya asap belerang yang menutupi sebagian lereng.
Sebuah jalan setapak membelah di tengah-tengah gunung. Memisahkan sawah dan pepohonan di sisi kanan dan kiri lukisan. Saat melihatnya seketika ingatan saya kembali ke masa kecil. Masa-masa dimana Magelang, sebuah kota di bawah Merapi masih sunyi, banyak sawah, dan jalanannya belum lagi diaspal seperti sekarang. Adem banget!
Pameran lukisan Istana yang disokong oleh Jadi Mandiri ini banyak menampilkan lanskap-lanskap serupa. Gunung, menurut pengamatan saya, mengambil sebagian besar latar belakang lukisan. Baru kemudian menyusul pemandangan bertemakan laut dan sungai.
Sebuah langkah cerdik menempatkan lanskap pemandangan di babak pertama pameran. Mengapa?
Sebab, pemandangan bisa jadi jembatan pikiran semua orang. Siapa coba yang tak suka jalan-jalan? Aktivitas ini menjadi sangat dekat dengan keseharian. Sehingga bisa dinikmati semua pengunjung, tua, muda, anak-anak, maupun dewasa.
Bahkan, saya sempat mendengar sepintas dua orang anak SMP memakai seragam pramuka berdialog. Saat berdiri di depan lukisan Pantai Flores karya Basoeki Abdullah. Kira-kira begini ringkasnya:
“Katanya lu udah pernah ke Flores?”
“Iya, emang bagus kayak di gambar. Bedanya sekarang udah rame orang.”
![]() |
Pantai Flores karya Basoeki Abdullah. |
Lewat dialog singkat itu, saya bisa menyimpulkan. Bahwa lukisan-lukisan “Mooi Indie” ini mampu menghadirkan kembali kecintaan kita bisa terlahir di Indonesia. Atau setidaknya, menggugah kerinduan para manusia-manusia urban untuk sejenak melepas penat, dan berpergian ke alam. Menikmati sepoinya angin pegunungan, dan desiran ombak pinggir pantai.
Saking terkenal akan keindahan alamnya, di awal abad ke-20 banyak pelukis Eropa rela datang jauh-jauh ke Indonesia hanya untuk melukis keeksotisan Hindia-Belanda. Bahkan trinitas lanskap gunung, pohon, dan sawah pernah menjadi pakem lukisan cindera mata yang dibawa wisatawan.
Karena populer, lambat laun, istilah Mooi Indie dijadikan rujukan pada lukisan bertema pemandangan indah Hindia Belanda. Padahal, mulanya Mooi Indie hanya merupakan judul portofolio reproduksi cat air oleh seniman Du Chattel.
Enam Babak Mengagumkan
Sejatinya, ketika kau memasuki ruang pameran “Senandung Ibu Pertiwi” di Galeri Nasional ini. Tak hanya lukisan gaya Mooi Indie yang bisa kau nikmati. Masih ada lima babak lukisan yang membikin matamu terpana dan mulutmu mengeluarkan bunyi “ck ck ck” sebagai reaksi kekaguman.
Setelah Mooi Indie lewat, kau akan bertemu lukisan-lukisan bertema “Citra Keseharian”. Sebetulnya, bagi saya, agak sulit membedakan lukisan di babak ini dengan sebelumnya. Sebab, yang ditampilkan juga masih bernuansa pemandangan. Bedanya, lukisan di babak ini ditambahkan cerita-cerita keseharian masyarakat Indonesia. Pun saat mereka bergelut dengan mata pencahariannya.
Misalnya, lukisan Kartono Yudyokusumo berjudul “Bertamasya ke Dieng”. Latarnya masih berupa pemandangan dataran tinggi Dieng yang penuh asap belerang. Dalam gambar itu, terlihat empat orang sedang menikmati suasana. Saya rasa mereka datang berboncengan, karena ada dua sepeda melengkapi komposisi lukisan di sisi kanan.
![]() |
Kartono Yudyokusumo “Bertamasya ke Dieng”. |
Ada satu lukisan terlihat mencolok mata saya pada babak ini. Di antara lukisan-lukisan lain yang cenderung “sepi”, lukisan ini kontras. Adalah Ida Bagus Made Widja, menggambarkan keriuhan masyarakat Bali ketika menyambut kehadiran Soekarno. Saya jadi bisa membayangkan, betapa dulu presiden pertama Indonesia ini begitu dipuja.
Ia terlihat perlente, sama seperti penggambaran sosoknya di banyak media. Berbaju putih, berkopiah hitam, dan diagungkan. Ida menggambarkan unsur pengagungan Soekarno lewat arak-arakan megah. Dengan iring-iringan Leak dan Ogoh-ogoh raksasa di samping dan depan sang presiden.
![]() |
Ida Bagus Made Widja, menggambarkan keriuhan masyarakat Bali ketika menyambut kehadiran Soekarno. |
Berlanjut ke babak ketiga, “Kebaya”. Secara ringkas, babak ini menggambarkan beragam kecantikan alami wanita Indonesia dalam balutan kebaya. Saat itu, di kisaran tahun 1827, pemerintah Belanda melarang penduduk Indonesia memakai pakaian yang kebarat-baratan. Alasannya, supaya bisa membedakan strata dan kasta.
Tapi, kebaya mendobrak dikotomisasi yang dibuat Belanda. Sebabnya, ia cocok dipakai wanita-wanita dalam beragam ras, bahkan oleh para wanita Belanda. Cuaca panas Indonesia, tentu kurang cocok disandingkan dengan gaun tebal menjuntai milik mereka.
![]() |
Penjelasan sejarah pakaian Kebaya di era pendudukan Belanda. |
Usai menelusuri lorong panjang babak keempat. Kita disuguhkan ruang baru di babak “Mitologi”. Dua lukisan di babak ini tak membuatnya kalah pamor. Sebab, aura kuat di dua lukisan mampu membuat pengunjung berlama-lama menatapnya.
Basoeki Abdullah dengan piawai menggambarkan keelokan paras “Nyi Roro Kidul” ditambah balutan gaun sutra hijau dan kalung mutiara. Nampak mode kelas atas di periode kala itu disematkan Basoeki padanya. Di babak ini, kita juga bisa melihat pengejewantahan Basoeki sebagai pelukis yang sering menuangkan beragam kepercayaan lokal, khususnya pewayangan. Satu lukisan lainnya tak kalah menarik mata. “Gatotkaca, Pergiwa dan Pergiwati”.
![]() |
Basoeki Abdullah, “Gatotkaca, Pergiwa dan Pergiwati”. |
![]() |
Basoeki Abdullah, “Nyi Roro Kidul”. |
Babak kelima, mengusung tema “Spiritualitas dan Religi” memunculkan ragam bentuk keagungan Tuhan. Di antara lukisan yang terpampang, mata saya langsung terpikat satu tulisan besar di ujung lorong. Ia dipenuhi warna dasar merah tua dan hitam, sesaat melihatnya saya menafsirkan itu sebagai penggambaran neraka.
Sebab terlihat kumpulan orang tak berdaya seperti mau jatuh di jurang yang penuh api. Lukisan ini, masih merupakan hasil kepiawaian Maestro Basoeki Abdullah, berjudul “Djika Tuhan Murka” dibuat tahun 1949-1950 untuk koleksi pribadi Presiden Soekarno.
![]() |
Basoeki Abdullah,“Djika Tuhan Murka”, 1949-1950. |
Sebenarnya, di antara pameran babak keempat dan babak kelima terdapat sebuah lorong yang menghubungkan pengunjung ke subuah ruangan bernuansa oranye. Itulah babak terakhir “Perjalanan Seni Indonesia”, menggambarkan dinamika seni Indonesia mulai dari zaman presiden pertama, hingga era Jokowi.
Mengedukasi Pengunjung
Kita patut bersyukur, setidaknya, di era kiwari, perhelatan seni lukis dan rupa tak hanya bisa dinikmati segelintir golongan. Tapi sudah menyentuh beragam kelas. Bahkan kelompok anak ABG yang dikonotasikan sering nongkrong di Sevel, tak jarang terlihat di ruang pameran.
Sayangnya, kebanyakan dari mereka sibuk cekrak-cekrek di samping lukisan. Memakai lampu blitz, dan berbicara keras-keras dengan sesamanya. Membuat pengunjung lain jadi terganggu. Yang paling parah, mereka tak ragu menyentuh lukisan. Padahal, beragam laku tadi seharusnya tak patut dilakukan di ruang pameran.
Maka, untuk membiasakannya, menurut saya, penting bagi panitia setiap pameran menerapkan aturan ketat bagi pengunjung. Seperti yang dilakukan oleh panitia di “Senandung Ibu Pertiwi”. Untuk melihat pameran ini, sehari sebelumnya, pengunjung harus melakukan registrasi secara online terlebih dulu. Kapasitas pengunjung dibatasi cukup 150 orang per dua jam agar tak sumpek.
Setelah registrasi, maka semua barang bawaan termasuk tas, bahkan kunci motor, harus dititipkan ke panitia. Pengunjung hanya diperbolehkan membawa handphone untuk mengabadikan momen. Itupun, dilarang menggunakan lampu blitz. Jika ada yang melanggar, maka panitia tak segan untuk menegur.
Memasuki gedung pameran, pengunjung diperiksa terlebih dahulu dengan metal detector. Setiap lukisan diberi tali pembatas sejauh kira-kira setengah meter. Mengantisipasi tangan-tangan jahil yang suka colak-colek lukisan. Alur keluar masuk juga diatur sedemikian rupa lewat satu pintu supaya tak terjadi penumpukan di satu tempat.
Jika penjagaan sudah ketat dan edukasi telah dilakukan. Maka pengunjung akan mulai belajar tidak menerapkan ragam aktivitas terlarang dalam pameran. Seperti yang diajarkan oleh Jadi Mandiri dalam “Senandung Ibu Pertiwi.”
Komentar
Posting Komentar